Rabu, 01 Juni 2011

pngalaman

Ada seorang pemuda yang datang ke kota metropolitan untuk ingin menjadi seorang yang populer dan terkenal seantero Indonesia (tingkat RT aja loe ga bisa terkenal). Tapi metropolitan tidak berpihak padanya. Dia akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya (mang nafas loe kaya kepompong). Pergilah dia mencari tempat yang bisa dijadikan untuk gantung diri. Dia berfikir kalau semasa dia hidup tidak bisa menjadi orang tenar biarlah kematiannya yang mejadikan dia seorang yang terkenal.

Mulailah dia melakukan tapak tilas dari stasiun senen menuju manggrai ( yaaelah mau mati aja pakai tapak tilas segala. Sekalian aja bawa obor tu), tapi belum juga di temukan tempat yang strategis untuk mengakhiri hidupnya. Tak terasa sampailah di Pancoran, dilihatnya patung Pancoran yang berada di persimpangan itu.

“Wah ini dia tempat yang akan menjadikan kematian ku terkenal,” katanya dalam hati.
Dengan semangat 45 dan peluh yang menyucur kaya musim kemarau…..(woiii salah nulis tu ko kaya musim kemarau… yang ada musim semi tau/ yang protes ma yang nulis sama-sama ga hafal ma musim), dipanjatlah patung itu. tapi begitu baru sampai di atas, masih dengan nafas yang nyiut-nyiut kaya orang penyakit bengek, dia di hardik ma tu patung.

“Hai… ngapain sampean kesini?”

“Saya mau gantung diri di sini, biar kematian saya jadi terkenal, karena semasa hidup saya susah bangat mau jadi orang terkenal”. Sahut sang pemuda.

“Enak aja. Ga segampang itu, kalau mau bunuh diri di sini, lawan saya adu ponco dulu. Kalau saya kalah baru sampean boleh lakukan harakiri disini”. Bentak sang patung.

Si pemuda bengong, melihat otot-otot patung itu dah ciut nyalinya. Akhirnya dia melorot turun. Sadar dirinya ga akan mungkin menang wong tulangnya aja tulang ayam (ayam di presto kali).
Diteruskannya perjalanannya dan tak terasa sampailah dia di patung Bundara HI.
“Wah ini patung otot-ototnya ga seperti patung di Pancoran. Tentu saya ga akan diajak adu ponco”.
Pikirnya lagi.
Dipanjatnyalah itu patung. Sampai di atas dia kembali ditegur ma tu patung.

“Hai ngapain sampean ke atas sini?”

Dengan wajah memelas dia ceritakalah maksudnya. Sama seperti waktu dia menceritakan pada patung Pancoran.

“Enak aja sampean mau mati di sini. Bisa-bisa mengalahi kepopularitasan saya, nanti ga ada lagi yang mau demo di sini, sana pergi.” Usir tu patung. (Nah loe rasain diusir lagi)

Lagi-lagi pemuda tersebut diusir ma tu patung-patung. Dengan berlinang air mata (kaya film India aja) dia akhirnya turun dan melanjutkan perjalanan. dan bertemulah dia dengan patung Jendral Sudirman. Dan kembali dia panjat tu patung. Sampai di atas dia juga ditegur tu patung.

“Ngapain kamu?”

Kembali sang pemuda menjelaskan maksudnya.

“Ga bisa…!!!!!!!!!!!! bisa jatuh wibawa saya nanti. Dan bisa-bisa si Naga Bonar suruh saya turun lagi.” (untung Naga Bonar ga denga keinginan si pemudar)

Dengan tegas tu patung nolak keinginan sang pemuda. Lagi-lagi sang pemuda menelan kegagalan. Akhirnya si pemuda sampai di Tugu Tani. Maksud hati untuk beristrihat sebentar karena dah terlalu letih kakinya berjalan. Tapi baru saja dia bersandar di di tugu itu, kembali dia diusir.

“Hai anak muda di sini tidak ada pembagian sembako, pergi sana, gunakan kedua tanganmu untuk berusaha. Jangan jadi orang yang malas dan gampang putus asa”.

Dengan kagetnya pemuda tadi langsung berdiri. Sambil berjalan dia terus mengerutu.

“Dasar Tugu Tani, saya mau bunuh diri ko malah dibilang mau minta sembako… huff”.

Akhirnya sampailah dia kembali di segitiga senin (segi tiga atrium). Duduklah dia di dekat pos Polisi sambil memikirkan bagaimana caranya mati terkenal.
Tiba-tiba dia dihampiri oleh seorang pak polisi yang kalau dilihat usianya sudah mendekati masa pensiun. Dengan penuh wibawa disapanyalah anak muda tersebut.

“Lek kamu kelihatan lusuh bangat. Darimanakah kamu????” (Jangan-jangan nich orang yang suka beoriasi di metromini terus minta uang dengan paksa)
Dengan sisa-sisa tenaga yang dia punya, diceritakanlah perjalanannya seharian ini. Pak polisi geleng-geleng kepala.

“Kamu nambah-nambah kerja saya aja, tidakkah kamu lihat kalau saya dah mau pensiun dan tua? Saya sudah ga sanggup kalau harus manjat menurunkan jasad mu.” Pemuda itu diam dalam keputus asaannya.
“sekarang kamu lihat gedung pasar senen itu dan kemudian kamu lihat gedung atrium itu”.
Dengan patuh si pemuda memalingkan kepalanya melihat kedua buah gedung itu. tapi dia tetap tidak mengerti apa maksud pak polisi itu. kemudian menatap pak polisi dengan dengan kerutan kening tujuh gelombang… eeehhhh salah tujuh lapis (emangnya kue lapis). Pak polisi mengerti kalau tu pemuda benar-benar bego (sorry Gw ngatain Loe… xixixixixxii).

“ Dulu pasar Senen itu sangat terkenal di Jakarta ini…. Menjadi ajang tempat anak muda mudi memadu kasih dan merupakan tempat yang sangat di banggakan (alias di elu-elukan tau ga sih loe maksud tu pak polisi???) dan tempat belanja kalangan elit. Tapi kini kamu lihat… sejak atrium berdiri dia dilupakan begitu saja. Hanya menjadi tempat jualan Sembako, sayur dan kain seken (Nah tau ga tu ma seken. Seken tu sekedar wae). Apa ente mau jadi kaya pasar senen itu? terkenal terus dilupakan dan dicampakkan??? Syukurilah apa yang telah Allah takdirkan pada diri kita”. Dengan panjang lebar pak polisi nyerocos.. biar tu si pemuda sableng sadar. (nah tu loe di bilang sableng ma Gw yang nulis….).

Seperti di hantam gurinda Buto hijau.. tu pemuda langsung berdiri dan menyalami pak Polisi. Dengan wajah menyeringai tu pemuda mengucapkan terima kasih. Terus berteriak, karena dimasuki roh nenek gembel…
“ENOKKKKKKKKK…… (lah Enok to nama calon mu walah-walah) . SAYA PULANGGGGGGGG, KITA JADI NIKAH. KITA AKAN MEMBUAT EMPANG SELUAS 100 HEKTAR (belagu loe… wong Cuma punya tanah 2 x 3 m doang) BIAR BISA MASUK BUKU GAMESREKORRRRRRR… BIAR TERKENALLLLLLLLLLLLLL…”. Teriak pemuda itu sambil berlari kearah stasiun bajaj… eehhh salah stasiun senen ding.


(XIXIXIXIXI JUST KIDDING DARI PADA MANYUN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar